Inimedan.com-Jakarta | Pakar hukum pidana Chairul Huda menilai penetapan tersangka kasus dugaan korupsi impor gula terhadap mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, atau yang lebih dikenal sebagai Tom Lembong, terbilang prematur. Tom Lembong telah mengajukan praperadilan terkait statusnya sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Chairul mengatakan bahwa langkah praperadilan yang ditempuh Lembong cukup beralasan, mengingat belum ada bukti kerugian negara yang jelas dan terverifikasi.
Menurutnya, kasus korupsi yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan tersebut seharusnya dapat dibuktikan dengan alat bukti yang valid, terutama yang menunjukkan kerugian keuangan negara. Berdasarkan Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), unsur kerugian negara harus terbukti secara konkret. “Dalam kasus korupsi, diperlukan adanya delik material yang menunjukkan dampak atau akibat berupa kerugian nyata terhadap keuangan negara. Kerugian ini harus dibuktikan dengan perhitungan resmi, misalnya dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau BPKP,” ujar Chairul.
Seperti yang ditulis media Repelita Chairul juga menyoroti pernyataan pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mengklaim bahwa kerugian negara mencapai Rp400 miliar. Menurutnya, angka tersebut masih terlalu spekulatif dan belum menunjukkan kerugian yang pasti. “Angka kerugian dalam kasus korupsi seharusnya tidak berdasarkan perkiraan kasar atau angka bulat yang cenderung membingungkan, seperti 400 miliar rupiah. Kerugian negara harus konkret, jelas, dan bisa diukur secara akurat,” tegasnya.
Kasus yang menimpa Tom Lembong ini muncul di tengah program 100 hari pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto. Menurut Chairul, ada kemungkinan bahwa penetapan Lembong sebagai tersangka merupakan upaya kejaksaan untuk menunjukkan kinerja cepat dalam mendukung agenda pemerintahan baru. “Semua kementerian dan lembaga sedang berlomba untuk mencapai target program 100 hari pemerintahan. Kejaksaan tampak mengungkap kasus ini sebagai bagian dari upaya itu,” kata Chairul.
Ia menambahkan, langkah penetapan tersangka terhadap Lembong terlihat “tidak natural” dan tidak mencerminkan proses hukum yang matang. “Kesan politisnya terlalu jelas, seolah ingin mencitrakan diri di mata pemerintahan baru. Ini berpotensi menjadi bumerang, karena masyarakat melihat bahwa proses ini terlihat tergesa-gesa,” tambahnya.
Chairul juga khawatir dengan adanya kemungkinan diskriminasi dalam penanganan kasus impor gula ini. Menurutnya, keputusan impor yang diambil Tom sebagai Menteri Perdagangan kala itu merupakan bagian dari kebijakan yang juga diterapkan oleh kementerian lain. Beberapa menteri sebelumnya juga pernah diperiksa terkait kasus serupa, namun kasus mereka cenderung tidak berlanjut. “Ada banyak menteri lain yang juga melakukan kebijakan serupa, namun kasusnya tenggelam begitu saja. Ini menimbulkan tanda tanya mengenai asas keadilan dan kesetaraan dalam penanganan kasus hukum di Indonesia,” ujarnya.
Chairul mencontohkan kasus-kasus impor yang melibatkan beberapa mantan pejabat di masa lalu, yang meskipun sempat diselidiki, berakhir tanpa tindak lanjut. “Kalau melihat kasus sebelumnya, bahkan kantor mantan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel pernah digeledah, namun kasusnya tenggelam. Jadi, jika Lembong memperkarakan hal ini melalui praperadilan, itu langkah yang wajar.” Chairul kembali menegaskan bahwa dasar hukum dalam kasus ini belum kuat karena belum ada perhitungan resmi dari lembaga audit negara terkait kerugian.
Ia menjelaskan, jika negara mengalami kerugian karena gula yang diimpor tidak terserap di pasaran hingga rusak, barulah hal tersebut bisa dikategorikan sebagai kerugian negara yang sah. Namun, dalam kasus ini, Chairul menilai belum ada bukti yang mengarah ke kerugian konkret. “Jika gula yang diimpor menumpuk dan menyebabkan kelebihan pasokan hingga merusak stok yang ada di Bulog, maka itu baru bisa dikatakan merugikan negara. Namun, kalau nilai transaksi impor dianggap sebagai nilai kerugian, itu tidak relevan,” tandasnya.
Menurutnya, transparansi dalam proses hukum yang melibatkan Lembong amat penting untuk diketengahkan. Publik harus mendapatkan kejelasan mengenai data-data yang dijadikan dasar penetapan tersangka. “Transparansi ini pertama-tama harus datang dari internal kejaksaan. Mereka perlu menyampaikan data secara akurat kepada publik dan bukan sekadar angka perkiraan. Jangan sampai kesan yang muncul justru bahwa proses ini dipaksakan,” katanya.
Ia juga menilai pernyataan Kapuspen Kejaksaan yang menyebut bahwa penetapan tersangka tidak harus terkait dengan aliran dana sebagai indikasi bahwa kasus ini belum memiliki bukti yang cukup. “Kalau benar ini untuk menguntungkan diri sendiri atau pihak lain, tentu ada aliran dana atau bentuk keuntungan yang bisa dibuktikan. Tidak logis jika korupsi dilakukan tanpa ada keuntungan sama sekali bagi pelakunya,” tegasnya.
Langkah praperadilan yang ditempuh Lembong, lanjut Chairul, merupakan bagian dari upaya hukum yang sah untuk menguji keabsahan proses penetapan tersangka. “Hak setiap tersangka untuk memastikan bahwa status hukumnya benar-benar didasarkan pada bukti yang kuat. Praperadilan ini akan menjadi ajang pengujian apakah kejaksaan telah benar-benar menjalankan proses hukum dengan adil dan transparan,” ujarnya.
Senada dengan Chairul, kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, menyatakan bahwa angka yang disampaikan pihak Kejagung sebagai dasar kerugian negara memang tidak konkret dan tidak memiliki dukungan audit resmi. Ari menilai, Kejagung perlu menghadirkan bukti yang sahih sebelum menetapkan kliennya sebagai tersangka. Selain itu, menurutnya, penetapan ini juga terkesan diskriminatif, mengingat kebijakan impor gula yang dipermasalahkan adalah kebijakan kolektif pemerintah, di mana beberapa menteri perdagangan sebelumnya juga melakukan hal serupa tanpa dipersoalkan secara hukum.
Ari menegaskan, tindakan praperadilan ini tidak hanya untuk membela hak Tom sebagai warga negara, tetapi juga sebagai upaya untuk memastikan bahwa penegakan hukum dilaksanakan secara adil dan transparan. Lebih lanjut, Ari menyampaikan bahwa prinsip equality before the law atau kesetaraan di hadapan hukum perlu diterapkan secara konsisten dalam kasus ini. Kejelasan dan transparansi di dalam setiap proses hukum, menurut Ari, adalah hal mutlak, agar setiap kebijakan yang diambil oleh pejabat negara tidak serta-merta berujung pada tindakan kriminalisasi yang prematur dan terkesan terburu-buru.
Kasus yang menjerat Tom Lembong memang bukan seperti kasus tipikor seperti biasanya. Ada dimensi politis yang menarik perhatian publik, terutama dalam melihat sejauh mana independensi penegakan hukum di tengah pemerintahan baru yang sedang menyiapkan program 100 hari pertamanya. *di/Rep#