
MIKom Wakil Ketia IV KONI Sumut bersama Kadispora Pemprovsu. *Foto/IMC/Ist#
Inimedan.com-Medan | Perkembangan teknologi digital menjadi tantangan serius bagi wartawan saat ini. Adaptasi jadi salah satu kunci utama demi mendukung karya jurnalistik yang tetap mengedepankan etika peliputan dengan menjaga profesionalismenya.
Hal itu disampaikan Drs Muhammad Syahrir, MIKom saat menjadi pemateri “Tantangan Wartawan Olahraga di Antara Profesionalisme dan Etika Peliputan” pada Workshop Jurnalistik Seksi Wartawan Olahraga (SIIWO) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumut Tahun 2025 yang digelar di Travelbiz Hotel, Medan, Kamis (18/12).
Syahrir menegaskan bahwa era jurnalistik telah mengalami pergeseran besar dari masa ke masa.“Pada era saya, wartawan masih menggunakan mesin tik, mengetik dengan jari telunjuk. Tidak ada copy-paste. Modalnya mata, telinga, dan kepekaan. Bisa dipastikan semua wartawan bisa menulis berita,” ujar Syahrir yang juga mantan Ketua PWI periode 2011–2016 yang saat jadi Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat 2025–2030.
Menurut Syahrir, saat ini jurnalistik telah masuk ke era digitalisasi, di mana wartawan berhadapan langsung dengan kekuatan media sosial dan teknologi AI. Generasi Z, kata dia, bahkan hanya menggunakan jari jempol untuk memproduksi konten, cukup sekali klik berita sudah tersebar luas.
“Kita sekarang berhadapan dengan robot, dengan narasi buatan AI yang secara teknis sudah memenuhi standar 5W+1H. Itu tidak salah,” ujar dia.
Namun demikian, Syahrir yang juga Wakil Ketua Umum IV KONI Sumut Bidang Sarana dan Prasarana ini menekankan bahwa keunggulan wartawan olahraga terletak pada analisis dan kedalaman tulisan, bukan sekadar memberitakan kalah atau menang. “Keunggulan kita terletak pada analisis, prediksi, bahkan identifikasi. Kalau untuk soliditas dan solidaritas itu, cukup timggi di wartawan olahraga. Itu keunggulan kita juga,” sambungnya.
Ia juga mengingatkan bahaya hoaks yang marak di media sosial. Kecepatan tanpa verifikasi sering kali mengorbankan kebenaran. Karya jurnalistik tentu beda. Lebih mengedepankan proses verifikasi, identifikasi persoalan, dan analisis mendalam. “Karena sebagian besar informasi di media sosial kebenarannya masih diragukan,” ucapnya.
Syahrir optimistis wartawan tidak akan “mati” di era digital jika mampu beradaptasi. Ia menilai karya jurnalistik berkualitas tetap dibutuhkan, terutama oleh masyarakat dengan tingkat intelektual tinggi.
“Kita dorong kekuatan lama dengan analisis, ulasan, dan nilai jurnalistik tinggi. Pasti narasumber akan mencari kita,” ujarnya.
Terkait isu media yang disebut-sebut hampir mati akibat tergerus media sosial, Syahrir menegaskan bahwa kunci bertahan adalah adaptasi dan konvergensi media. Media massa, menurutnya, harus hadir di berbagai platform, termasuk media sosial.
“Wartawan sekarang tidak cukup hanya bisa menulis. Harus bisa foto, video, laporan langsung, podcast, dan mengelola media sosial. Adaptasi teknologi itu wajib untuk eksistensi media,” pungkasnya. *di/r#


