Pengusutan Dugaan Penistaan agama Jangan Abaikan Rasa Keadilan Komprehensif

inimedan.com-Jakarta.
Masalah perbuatan penodaan agama, yang sering terjadi di negeri Pancasila ini, nampaknya tak kunjung terselesaikan bahkan terkesan selalu mengakibatkan jatuhnya korban yang rasa keadilan nya terabaikan, hal ini konon terjadi karena pasal penodaan agama tersebut, muncul pertama kali pada tahun 1965 ketika Presiden Indonesia Soekarno mengesahkan Peppres Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Namun sayangnya, Perpres yang terkesan kontroversi tersebut justru kemudian dijadikan UU pada tahun 1969 di masa pemerintahan Presiden Soeharto, hal ini disampaikan Ralian Jawalsen Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Masyarakat kepada inimedan.com, Selasa,24/8/2021 di Jakarta.
 “Selain di kenakan UU thn 1969 tersebut,  terduga pelaku penodaan agama, juga di  kenakan pasal 156a huruf a KUHP padahal pasal tersebut merupakan warisan era kolonial itu tidak bisa lagi digunakan untuk menghukum seseorang.”ungkap Ralian Jawalsen,SH
Menurutnya, semua kasus penodaan agama yang menggunakan pasal 156a KUHP itu tidak jelas yang mau dibuktikan apa, niat untuk menodai itu juga tidak jelas, yang mana bagian yang menodai,aturan mengenai penodaan agama mestinya cukup dimasukkan dalam pasal 156 KUHP., aparat penegak hukum bisa menggunakan pasal 156 KUHP dengan menyempitkan makna penghinaan dalam konteks agama dan lebih memudahkan aparat penegak hukum untuk mengukur definisi penodaan terhadap agama.
“Bagaimana cara kita bisa mengukur sikap yang termasuk penodaan terhadap agama? Kan tidak jelas. Lebih baik dimasukkan saja ke pasal 156 KUHP, jangan dengan konteks berdiri sendiri,” tukasnya
Lebih lanjut Ralian mengatakan bahwa kasus penodaan agama yang terjadi di Indonesia selama ini  cenderung menimpa kaum minoritas, selain itu, masalah penodaan agama selalu menyeret massa yang besar dari mayoritas untuk memperkarakan kaum minoritas, kondisi inilah yang sering kali mengabaikan rasa keadilan komprehensif, misalnya dugaan penistaan agama oleh KH Abdul Somad dan Yahya Waloni, yang kasusnya kini tidak jelas pengusutannya.
“Karena itu kami mendesak agar Undang undang tentang penodaan agama thn 1969 tersebut, harus segera di revisi, dan kepada pihak aparat hukum, hendaknya jangan terpengaruh oleh tekanan massa atau opini publik dalam penanganan perkara dugaan penistaan agama, melainkan harus melalui kajian yang komprehensif agar terpenuhinya rasa keadilan masyarakat”pungkas Ralian.*tri#

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *