Inimedan.com-Labuhan. | Di tengah kemeriahan pembangunan kota dan gemerlap janji politik, satu nama terus terbenam bersama air banjir dan harapan yang karam. Sei Mati, Satu wilayah di kawasan Medan Labuhan telah lama hidup dalam kubangan air, lumpur dan diamnya kekuasaan.
Ironisnya, semua ini terjadi bukan karena alam semata, melainkan karena pengabaian sistematis dari dua pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab, yakni pemerintah Kota Medan dan DPRD Kota Medan.
Dalam pantauan langsung warga, banjir bukan lagi bencana, melainkan rutinitas yang menghantui. Tidak ada tanggul, tidak ada drainase yang layak dan tak ada penataan kampung yang menyentuh warga secara nyata. “Kami bertahan dengan kaki di lumpur, bukan karena kuat, tapi karena terpaksa,” ucap seorang ibu rumah tangga yang anaknya harus melewati genangan air untuk sekolah setiap pagi.
Kapling-kapling rumah berdiri di sempadan parit, jalan becek dan gelap, saluran mampet oleh sampah — dan yang paling menyakitkan, semua ini seolah tak pernah masuk dalam daftar kerja para pengambil kebijakan.
Anggota DPRD Kota Medan, terutama dari Dapil Medan Labuhan, disebut sebagai “wakil rakyat yang bungkam” Mereka hadir saat kampanye, namun absen ketika rakyat butuh advokasi dan anggaran. Lebih ironis lagi, mereka lebih sibuk tampil live di media sosial dari pada live di lapangan. “Livenya jalan terus, kerjanya entah di mana. Kamera mereka hidup, tapi nurani mereka mati.”
Padahal, setiap tahun mereka ikut mengesahkan anggaran triliunan rupiah. Tapi kenapa jalan di Sei Mati tetap becek? Kenapa tak ada program air bersih? Kenapa penataan kampung selalu tertunda? Kenapa suara rakyat Sei Mati seolah tidak masuk mikrofon reses mereka? “Yang benar-benar live adalah penderitaan rakyat, bukan empati wakilnya.”
Tulisan Rizki Akbar bertajuk “Dikhianati Dua Kali: Oleh Banjir dan Wakil Rakyat Sendiri” menyuarakan betapa sektor pinggiran kota ini telah lama dikubur hidup-hidup dalam keheningan kekuasaan. Ia menyebut Sei Mati bukan sekadar nama, tapi simbol matinya keadilan pembangunan dan ambruknya nurani penguasa local. “Yang kumuh bukan hanya kampung kami, tapi juga hati yang mengatur kota ini,” tulisnya.
Mereka tidak menuntut banyak, jalan yang tidak tergenangair, saluran air yang mengalir, penerangan jalan, air bersih, dan sekolah yang mudah diakses. Tapi sampai hari ini, harapan itu tetap di awang-awang, tak kunjung hadir dalam realisasi.
Jika pemerintah terus absen dan DPRD tetap tidur, maka Sei Mati bukan hanya akan tenggelam oleh banjir, tapi oleh pengkhianatan kolektif dari sistem yang seharusnya melindungi mereka. *Rizki Akbar#