inimedan.com-Jakarta,

Sepanjang tahun 2020- 2021, Kementrian hukum dan ham telah mengalami banyak perubahan, patut di apresiasi sebagai bagian dari implementasi Revolusi Mental yang digelorakan Pemerintahan saat ini. Namun perubahan itu masih menyisakan pekerjaan rumah besar di tahun 2022 yang tidak bisa diselesaikan di internal tapi harus melibatkan institusi penegak hukum lainnya, masih banyak posisi strategis yang ditempati Pejabat berperilaku Kotor dengan memperdagangkan kekuasaan untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Mereka berkelindan dengan para pengusaha kotor yang juga mengambil keuntungan bisnisnya. Pejabat Kotor dan Pengusaha Kotor inilah yang harus dibersihkan agar tidak merusak marwah Kementrian Hukum dan Ham dlm menjalankan agenda Revolusi Mental secara utuh, demikian disampaikan Gigih Guntoro Direktur Eksekutif Indonesian Club dalam siaran persnya yang disampaikan ke awak media, Kamis, 6 Januari 2022 di Jakarta.
“Kami mencatat ada banyak persoalan krusial yang merusak marwah Kementrian Hukum dan HAM, ada enam hal yang kami sampaikan ke masyarakat, sehingga nantinya dapat menjadi focus perhatian bagi Kementrian Hukum dan HAM. “ungkap Gigih Guntoro.
Menurut Gigih Guntoro, sorotan Pertama, adalah adanya Dugaan praktek Jual Beli Jabatan. Dihampir semua direktorat rentan terjadinya jual beli jabatan dengan berbagai modus misalnya memperdagangkan kekuasaan politik, memperdagangkan kedekatan dengan Menteri, Wakil Menteri dan pejabat lainnya, dan bahkan memperdagangkan otoritas kewenangannya. Aktornya memegang peranan penting di bagian kepegawaian masing” direktorat misalnya PAS, Imigrasi hingga biro Kepegawaian Kementrian.
Aktor inilah yang selama ini paling menentukan formasi jabatan tertentu sehingga banyak yang berkepentingan melindungi dan bahkan menyelamatkannya. Kenapa Aktor ini dilindungi oleh pejabat diatasnya, patut diduga mereka sama” menikmati uang kotornya. Bagi mereka kualitas SDM tidak penting, uang lah yang berkuasa maka berbaik dan patuhlah pada aktor tersebut jika ingin mendapatkan jabatan strategis.
Indikasinya pertama, lanjut Gigih, ada banyak pegawai yang bekerja di tempat yang sama dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun. Kedua, Ada banyak pegawai yang penempatannya hanya di zona nyaman ( dalam 1 wilayah kanwil, tempat nyaman_kanwil di jawa, dll) tidak ada Tour of Duty dan Tour of Area lintas Kanwil yang berakibat pejabat tak memiliki pengalaman memadai sehingga tak mampu melakukan inovasi pelayanan dilapangan. Ketiga, ada kecenderungan Pejabat Kotor menutup diri atas kritik dari luar dan terkesan menutup kasus yang muncul di publik dengan upaya penyelamatan terhadap pelaku kejahatan yang sebenarnya.
Kalaupun ada penegakan hukum, itupun hanya formalitas, tidak menyentuh akar persoalan karena tdk memiliki efek jera sehingga kasus akan tetap berulang. Kenapa mereka dipertahankan dan seolah tak ada yang berani melakukan reorganisasi secara mendasar? karena dari merekalah pundi” ini mengalir sampai pejabat level atas.
“ Patut diduga terjadinya praktek semacam ini memang sengaja dipertahankan oleh Pejabat Kotor hanya untuk mempertahankan pundi” pendapatannya dengan mengabaikan tanggungjawabnya. Mereka menggunakan uang kotor untuk menopang dan mempertahankan kekuasaannya, Maka Sistem Meritokrasi semacam ini jelas akan gagal membangun satu manajemen organisasi yang sehat apalagi menjalankan amanat Revolusi Mental.”ucap Gigih.
Sedangkan untuk sorotan Kedua, Gigih mengemukakan Ada dugaan terjadinya Conflict of Interest yang mengarah pada tindak pidana korupsi yang dilakukan Pejabat di Direktorat Peraturan Perundang undangan.
Ada unsur penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan yg dimilikinya telah menguntungkan dirinya sendiri dan kelompoknya, misalnya ditemukan dugaan gratifikasi yang dilakukan pabrik semen Imasco ( perusahaan semen swasta yang mayoritas tenaga kerjanya berasal dari WNA China) melalui kepala imigrasi dengan alibi atas pengawasan orang asing kepada Pejabat tersebut. Modusnya, Semen Imasco dikirim ke lokasi Lapas (SAE), Medio Febuari-Juni 2021 sekitar 2000 sak, kemudian diangkut ke lokasi pembangunan Hotel di Kota Jember dengan truk dari Lapas, tenaga untuk bongkar muat menggunakan WBP berjumlah 15-20 orang, dengan petugas pengawalan dari oknum Imigrasi, Lapas hingga Bapas, Tidak hanya itu, imbuhnya.
Pejabat tersebut telah dengan sengaja memperdagangkan kekuasaan untuk mengarahkan kegiatan level nasional yang menggunakan anggaran negara ke hotel Grand Valonia, dimana Hotel ini merupakan bisnis milik keluarganya. Menempatkan kegiatan level Nasional di kota Jember, dari segi kelayakan, jarak tempuh serta efektivitas tempat tidak memenuhi syarat dan ini sudah berlangsung sejak tahun 2015 hingga saat ini. Praktek ini sebenarnya sudah menjdi rahasia umum, namun smua pegawai bungkam, tak berdaya dan cenderung mengamini.
“Bahkan ada Pejabat yang disinyalir berani menabrak aturan dan etika dengan membuat beberapa kebijakan strategis ketika menjabat sebagai Pelaksana Tugas di Direktorat Imigrasi. Tatakelola dlm menjalankan instansinya sangat buruk, yakni menciptakan distrut kpd bawahannya, merusak jenjang karir dengan menarik kelompoknya unt menempati posisi strategis. Kami menduga bahwa apa yang dilakukan Pejabat tersebut dalam membuat kebijakan dari hulu hingga hilir ini terkesan ada motif lain dlm rangka membangun dinastinya untuk memperkaya diri dan kelompoknya. “kata Gigih
Selanjutnya untuk sorotan Ketiga dan ke empat, ia mengungkapkan adanya berbagai Dugaan tindak Korupsi, misalnya : Dana Penanganan Covid 19 antara lain Pengadaan Obat dan Multivitamin Palsu untuk pegawai sepanjang April 2021 hingga Juni 2021 dalam rangka Penangggulangan Covid 19 di BPSDM Hukum dan Ham senilai Rp. 5.644.450.000. Patut diduga ada keterlibatan Oknum pejabat di BPSDM. Indikasi pemalsuan obat dan multivitamin terjadi karena tidak ada kesesuaian kode BPOM, jenis label, tidak ada tgl kadaluarsa, merek dan bentuk kemasan. Praktek ini jelas tidak hanya merugikan kesehatan pegawai tapi juga merugikan keuangan negara, selain itu juga ditemukan adanya dugaan praktek korupsi pada proses pengadaan dan pembuatan visa offshore di lingkungan Ditjen Imigrasi. visa Offshore adalah kebijakan pro aktif pemerintah untuk memudahkan orang asing yang masih berada di negara asalnya yang ingin masuk dengan cepat ke wilayah Indonesia untuk berbagai kepentingan.
Modus korupsinya, ungkap Gigih, ada keluarga pejabat di Kumham yang memperdagangkan kekuasaan dan jabatannya untuk bekerjasama dengan pihak ketiga/ agen pekerja dalam hal pengurusan pembuatan visa offshore dengan mencari WNA yang ingin masuk le wilayah Indonesia. Ada pengabaian pembayaran resmi ke negara melalui Dana Pengembangan Keahlian dan Ketrampilan ( DPKKa) dan juga Ijin Menggunakan Tenaga Asing (IMTA) yang terjadi sekitar tahun 2014 hingga saat ini.
“ Kami menduga bahwa ada fee dan upeti atas pembuatan visa offshore yang tidak sesuai masuk ke kantong keluarga pejabat tersebut, sementara pejabat yang berkongsi karirnya akan melesat. Kami menemukan ketidaksesuaian data tenaga kerja asing dengan realitas lapangan yg berkorelasi dengan pembuatan Visa Offshore WNA banyak terjadi di wilayah Segitiga Emas Indonesia ( Banggai, Morowali, Kendari) yang notabenenya merupakan wilayah tambang dengan mayoritas pekerja dari WNA.”ucap Gigih.
Selanjutnya, untuk permasalahan Kelima dan ke enam, nampaknya Gigih masih menyoroti temuan adanya dugaan praktek Korupsi yakni Pengadaan Bahan Makanan ( Bama). Pengadaan Bahan Makanan untuk Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan setiap satu tahun anggaran yg pelaksanaannya disetiap Kanwil. Walaupun prosedur tender dilakukan secara terbuka di setiap Kanwil, Pemenang tender BAMA sejak awal sudah bisa dipastikan orang yang sama, dalam jangka waktu lama, dan sistem/pola gratifikasi yang sama. Praktek ini sudah berlangsung lama dan telah menggurita sebagai bagian sumber pendapatan para Pejabat Kotor. Ada 2 pola secara garis besar terjadi di lapangan yakni pertama ada permintaan fee berkisar 20% dan juga fee per-kepala berjumlah WBP sebesar Rp 2 rb – 5 rb. Jelas modus korupsi ini dilakukan scara sistematis dan berjamaah sehingga banyak pejabat di level lapas hingga pejabat di wilayah menikmati hasil korupsinya.
Tak hanya itu, Gigih juga mencium adanya Modus pengelolaan Koperasi dan Kantin lapas ke pihak ketiga yang diduga beraroma kolusi dan korupsi, karena ada 2 sisi yang harus dipertimbangkan pertama menguntungkan lapas dan pejabatnya. Selain kontrak yang cukup besar masuk ke koperasi lapas, pejabat level kasubsi hingga kalapas mendapat fee tiap bulan dari pengelola kantin pihak ketiga. Tidak hanya itu, pada level Lapas yang memiliki jumlah WBP besar, biasanya pengelola kantin dan koperasi adalah bawaan dari Pejabat Tinggi dan atau keluarganya. Kedua, harga menjadi lebih mahal akibat banyaknya pos anggaran yang harus dipenuhi pengelola. Dalam hal ini WBP yang menjadi korban/sapi perah karena tidak ada pilihan lain.
“Dari apa kami sampaikan tersebut, kami meminta smua pihak baik di Internal Kementrian Hukum dan HAM agar segera menjalan Revolusi Mental dengan melakukan perombakan total terhadap pejabat dengan melakukan Tour of Duty dan Tour of Area secara terukur. Dan juga meminta aparat penegak hukum KPK dan Kepolisian untuk melakukan penyeldikan terhadap dugaan Korupsi yang melibatkan Pejabat dan juga Pengusaha Kotor di Kementrian Hukum dan HAM”pungkas Gigih Guntoro yang juga aktivis di era tahun 1998 ini. (*Tri)