Ketua SPSI,Soal BHL PT Socfindo : Buruh itu Manusia dan Wajib Dimanusiakan

Para Buruh
Para Buruh *Foto/IMC/Ilustrasi#

Inimedan.com – Labuhanbatu.   | Memahami persoalan tentang hak normatif yang wajib diterima buruh dari perusahaan, bukan hanya sekedar persoalan hak buruh atau persoalan kewajiban perusahaan terhadap buruh semata.

“Persoalan hak normatif buruh bukan sebatas bicara hak dan kewajiban, tetapi secara implisit persoalan buruh merupakan persoalan hak azasi, adab, etika, moral dan wujud dari  prikemanusiaan,” Kata Ketua SPSI PT Socfindo Negeri Lama, Edy Syahputra Saragih akrab disapa Putra, Minggu ,(02/03/2025 saat diminta tanggapannya oleh awak media ini via seluler soal BHl di PT Socfindo Negeri Lama.

Soal BHL sudah tahunan bekerja di PT Socfindo Negeri Lama, tidak pernah menerima THR,  tidak terdaftar di BPJS kesehatan, kerja sistem borongan dengan upah yang rendah, Edi Syahputra menegaskan, ada indikasi pelanggaran undang- – undang ketenagakerjaan dan hal itu tanggung jawab vendor yang mempekerjakan para BHL.

“Vendor yang bertanggung jawab terkait adanya indikasi pelanggaran undang- – undang yang dibuat oleh pemerintah, soal THR, soal upah, dan soal BPJS kesehatan.Hal itulah yang saya sebutkan diawal, persoalan buruh tentang perihal kemanusiaan. Secara etika dan moral. pihak perusahaan apa pun, maupun vendor harus memanusiakan manusia, bukan terkesan membinatangkan manusia,”ujar Putra.

Putra menegaskan, hak normatif buruh wajib diberikan oleh pengusaha atau vendor kepada buruh, sebagai wujud dari implementasi tentang konsep kemanusiaan yang adil dan beradab,  sebagaimana termaktub dalam Pancasila pada sila kedua.

Demikian juga soal tentang hak atas kesejahteraan buruh yang harus didapat, ketika hak buruh tak diberikan, jelas tindakan vendor bertentangan dengan Pancasila pada sila kedua dan sila kelima, juga bertentangan dan jati diri bangsa Indonesia bermoral dan bermartabat.

“Itu sebuah simple bila pancasila hanya menjadi sebuah aplikasi semata, tetapi tidak terimplementasikan dalam kehidupan nyata. Akhirnya, buruh atau wong cilik, hanya jadi komoditas kepentingan politik. Mirisnya, ketika politisi yang duduk dikursi legislatif dan eksekutif menjadi bagian dari oligarki di negeri ini. Bentuk penistaan terhadap buruh, malah dilakukan oleh sang politisi itu sendiri,” ungkap Putra.

Ditegaskannya lagi, pasal kedua dan pasal kelima pada Pancasila merupakan metamorfosis cerminan manusia yang beradab dan bermoral. Kedua pasal itu menjadi referensi terciptanya insan berbudi pekerti apa pun jabatannya ,agar tidak rakus dan tidak tamak. Tidak akan merampas hak orang miskin dan tidak menindas yang rendah, karena merasa lebih tinggi.

“Andaikan kedua sila itu dijunjung tinggi, tidak akan mungkin vendor merugikan hak buruh yang dipekerjakan. Bila  vendor melenyapkan hak pekerja demi  keuntungan, maka kata beradab itu hilang dari diri si vendor, timbulah kata biadab baginya,”sebut Putra.

Putra menilai, bagi vendor yang  tidak memenuhi tanggungjawabnya kepada buruh yang dipekerjakan, maka itu sama dengan vendor melakukan eksploitasi terhadap buruh.

Padahal selayaknya, katanya lagi, Juhartono selaku vendor yang notabenenya anggota komisi 2 di DPRD Kabupaten Labuhanbatu sudah 2 periode menjabat, sewajarnya lebih memahami soal perburuhan, sensitif terhadap nasib buruh yang masih banyak termarginalkan di banyak perusahaan.

Karena menurut Putra, tupoksi komisi 2 DPR/ DPRD semestinya sebagai “Samurai” kaum buruh melawan kapitalis yang melanggar peraturan perundang undangan ketenagakerjaan dan penekanan terhadap kaum buruh di perusahaan.

“Rusak kinerja dan rusaklah tatanan moral wakil rakyat duduk di komisi yang membidangi perburuhan jadi vendor di perusahaan perkebunan. Juhartono bukan menjalankan amanah sebagai wakil rakyat, malah melakukan perbuatan memalukan, hak buruh tak diberikan. Lalu apa yang bisa diharapkan oleh rakyat dari seorang oknum seorang wakil rakyat seperti itu? Perlindungan apa yang dia bisa berikan terhadap buruh, sedangkan dia punya syarat kepentingan di perusahaan perkebunan?”cetusnya.

Mirisnya, lanjut Putra, perbuatan Juhartono sebagai vendor tidak memberikan hak normatif buruh yang wajib diterima, secara lugas dan jelas Juhartono telah mencoreng citra nama baik  partainya juga citra buruk lembaga Legislatif, DPRD Kabupaten Labuhanbatu.Khususnya Komisi 2.

Katanya lagi, hak seseorang yang harus diberikan tetapi malah ditelan, apalagi hak dari hasil keringat, perbuatan itu tentunya sangat bertentangan dengan norma agama dan norma hukum. Sangat kontradiktif dengan nilai – nilai pancasila dan undang undang dasar negara.

“Ini persoalan moral, sangat miris dan memalukan vendor seorang politisi partai menggunakan kata Amanat, tetapi melanggar amanat ! Hak normatif buruh bertahun – tahun bekerja tidak diberi. Bagaimana moralnya sebagai seorang wakil rakyat? dimana amanah yang harus dia junjung tinggi sebagai wakil rakyat yang terima gaji dari uang rakyat !! Hak buruh tak diberikan, itu eksploitasi terhadap buruh,” ucap Putra dengan nada geram.

Kendati demikian, Putra mengaku tidak bisa mencampuri hal tersebut lebih jauh tentang hak normatif buruh harian lepas di PT Socfindo Negeri Lama, dikarenakan BHL tersebut tidak dalam naungan atau wadah serikat pekerja yang dia pimpin.

“Saya hanya bisa memberi tanggapan atas masalah itu, juga berharap vendor memakai hati nuraninya. Tanya dalam hatinya, benar atau tidak perbuatannya. terhadap BHL yang dia pekerjakan.  Karena, jangan sampai masalah ini semakin besar, akibatnya bisa merusak kredibilitasnya, apalagi sampai masuk ke ranah hukum. Karena dalam masalah hak normatif buruh tidak dia beri oleh vendor, itu penggelapan hak buruh, jelas sanksi pidananya terhadap vendor,”ungkap Putra.

Ketua DPRD Kabupaten Labuhanbatu Arjan Ritonga, dikonfirmasi awak media ini via WhatsApp messenger App kemarin, apakah dibolehkan seorang anggota DPRD menjadi Vendor di perusahan? Arjan mengatakan, setahu dia hal itu tidak diperbolehkan.

“Kalau setahuku tidak dibolehkan bang,”balas Arjan.

Terpisah, Kepala Bidang Investigasi LSM -TIPAN – RI  Labuhanbatu, Darmanto,  saat diminta tanggapannya, Kamis, (05/03/2025) mengatakan, secara eksplisit tidak ada larangan seorang bagi anggota DPR,DPRD Kabupaten/ Kota ,MPR menjadi vendor atau tanam saham di perusahaan.

Tetapi, lanjutnya, dalam Undang- Undang Nomor 17 tahun 2014  ada 11 item menegaskan larangan bagi anggota DPR, DPRD Kabupaten/Kota dan MPR merangkap jabatan atau pekerjaan lainnya.

“Dalam persoalan ini menurut saya, Juhartono selaku anggota DPRD di Komisi 2, menjadi vendor di PT Socfindo Negeri Lama sudah melanggar UU Nomor 17 Tahun 2014 pada point K’  atau  item ke 11 yang isinya menyebutkan,  pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR/DPRD provinsi/DPRD kabupaten/kota serta hak sebagai anggota DPR/DPRD provinsi/DPRD kabupaten/kota.,”jelas Darmanto.

Darmanto menegaskan,  larangan dan ketegasan dimaksud bukan hanya diatur dalam UU 17/2014, hal serupa juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU Pemda”), yaitu dalam Pasal 134 dan Pasal 188 UU Pemda.

“Berita soal buruh yang dilansir Inimedan.com sudah saya baca. Bila benar apa yang diberitakan, perbuatan Juhartono selaku direktur dari CV Bagas Jaya, Vendor di Perkebunan PT Socfindo Negeri Lama, notabenenya wakil rakyat , bahkan juga seorang pengurus partai di Kabupaten Labuhanbatu, layak mendapat sanksi tegas dari Partainya dan perusahaan harus memutus kontrak kerja dengannya,”sebut Darmanto.

Menurut Darmanto, perbuatan oknum anggota DPRD sebagai vendor harus ditindaklanjuti sampai tuntas. Karena ekses dari perbuatannya terhadap buruh harian lepas tersebut, sebuah degradasi moral seorang wakil rakyat yang bobrok. Efek lainya agar tidak terjadi lagi hal serupa ke depannya siapa pun vendornya, hak normatif buruh harus diberikan.

“Saran saya, laporkan secara resmi oknum itu melalui surat ke Ketua Umum Partai PAN di Jakarta, tembuskan ke Ketua Partai di Propinsi dan Kabupaten. Surati Ketua DPR- RI/ Ketua Komisi 2 DPR -RI, Propinsi dan DPRD Kabupaten. Surati Mendagri, Menakertrans dan Disnaker. Surati Gubernur, Bupati. Buat pengaduan resmi Ke Wasnaker di Propinsi. Vendor harus bayar semua hak buruh yang selama ini tidak dia berikan. Kalau gak mau bayar, buat laporan resmi ke Poldasu, jangan lagi laporan ke Polres. Bila perlu Surati Komnas HAM,”ucapnya mengakhiri. *Joko W#.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *