Inimedan.com-Batu Bara | Irawan Sinaga, warga Sukaramai, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Batubara, yang akrab disapa Bang Naga, menuturkan kisah inspiratifnya dalam membangun usaha budidaya kepiting cangkang lunak.
Ia mengisahkan bahwa usaha ini bermula dari lingkungan tempat tinggalnya yang memang dikelilingi oleh nelayan. Sebagai anak nelayan, ia tumbuh akrab dengan laut dan segala hasil tangkapannya.
“Awalnya ya karena kita anak nelayan, hasil dari alam itu kalau dapat kepiting lunak ya rezeki, istilahnya. Tapi karena permintaan pasar tinggi, saya pikir kenapa nggak coba dibudidayakan?” ungkapnya saat ditemui di lokasi budidaya, Selasa (2/9/2025).
Usaha budidaya kepiting lunak yang kini ia kelola sudah berjalan sekitar lima tahun. Namun, jejak budidaya lebih dulu dimulai sejak 2009-2010, di lahan lain yang kini berjarak sekitar 2 kilometer dari lokasi sekarang.
“Dulu sempat pelihara udang windu dan ikan kerapu juga, tapi akhirnya jatuh ke kepiting karena perputarannya lebih cepat dan pasarnya jelas.” ujarnya
Satu siklus budidaya berlangsung selama 45–50 hari, mulai dari penebaran bibit hingga panen. Namun, sistem panennya tidak sekaligus dilakukan bertahap karena pembibitan juga dilakukan setiap hari.
Dengan luas area bersih sekitar 400 meter persegi, kolam-kolam dikelola secara bergantian. Ketika satu kolam penuh, dipindah ke kolam lain, sementara kolam pertama dibersihkan dan disiapkan ulang.“
Panen bisa tiap hari. Saat ini rata-rata sekitar 20–25 kg per hari. Kalau musim bagus, bisa lebih banyak.”
Bang Naga memasarkan hasil panennya melalui reseller dan juga langsung ke perusahaan (PT) di Medan, yang kemudian menyalurkan ke pasar ekspor.
“Kalau untuk PT itu lebih banyak ke Eropa. Kita kirim dalam bentuk Frozen, sedangkan pasar Cina atau Shanghai biasanya minta Fresh.”
Pengiriman ke PT dilakukan dua kali seminggu, tergantung stok. Harga jual kepiting lunak berkisar Rp140.000–Rp145.000 per kg, sementara harga bibit sekitar Rp65.000 per kg.
Meski prospeknya menjanjikan, Bang Naga tak menutup mata terhadap berbagai tantangan.
“Tantangan paling besar itu di cuaca. Kalau hujan terlalu sering atau panas ekstrem, angka kematian bisa tinggi. Air jadi nggak cocok buat kepiting.”
Sebagai antisipasi, ia mulai menutup kolam dengan kanopi agar suhu dan kualitas air lebih terjaga.
Selain cuaca, faktor modal juga menjadi tantangan. Meski kadang mendapat bantuan CSR dari perusahaan seperti Inalum sejak 2019, jumlahnya belum bisa diandalkan sepenuhnya.
“CSR itu rata-rata bantu material sekitar Rp10–15 juta. Tapi kalau butuh tambahan modal, kita tetap usaha mandiri dulu. Kalau ada kendala fatal baru kita ajukan bantuan.” Katanya tersenyum tipis
Usaha ini juga memberi lapangan kerja bagi warga sekitar. Saat musim panen ramai, bisa menyerap tenaga kerja hingga 5–6 orang per hari, semuanya dari lokal.
Upah harian berkisar Rp150.000–220.000, tergantung durasi kerja. Para pekerja juga mendapatkan makan malam saat kerja sampai malam hari.
“Dari semua budidaya yang pernah saya coba udang, kerapu, ikan air tawar kepiting lunak ini yang paling cepat putarannya. Cocok untuk kebutuhan keluarga juga.” pungkasnya
Budidaya ini telah dijalani sejak kecil, mengikuti jejak orang tua yang seorang nelayan. Kini, meskipun sempat terganggu akibat peraturan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan beberapa tahun lalu, kegiatan ekspor sudah kembali berjalan normal setelah dilakukan revisi kebijakan.
Cerita Bang Naga adalah bukti bahwa ketekunan, adaptasi terhadap pasar, serta pengelolaan yang cermat bisa membawa hasil, bahkan dari usaha yang awalnya hanya bermodal kecil dan semangat besar.
Utrich Farzah, Head of Corporate Communications INALUM, INALUM berkomitmen menjalankan tanggung jawab sosial yang selaras dengan keberlanjutan lingkungan dan kemandirian ekonomi masyarakat.
Salah satu fokus utama adalah pengembangan UMKM, yang tidak hanya sebatas pemberian bantuan, tetapi dirancang berkesinambungan agar UMKM naik kelas, lebih mandiri, dan berdaya saing. Hingga kini, lebih dari 500 UMKM binaan telah merasakan manfaat dengan peningkatan pendapatan rata-rata 20–30% serta turut menciptakan lapangan kerja baru, bahkan sebagian sudah mampu menembus pasar nasional.
Dalam kurun waktu hingga 2025, INALUM telah menyalurkan ratusan program keberlanjutan, mulai dari penyediaan modal kerja bersama Bank BRI, dukungan peralatan usaha, pelatihan keterampilan, hingga promosi produk melalui pameran nasional dan platform digital.
Program ini telah menjangkau ribuan masyarakat di 11 kabupaten/kota, khususnya di Batu Bara dan Toba, sehingga menghadirkan dampak nyata bagi ekosistem ekonomi lokal.
Di sisi lain, INALUM juga memperkuat komitmen lingkungan dengan bekerja sama bersama lembaga konservasi untuk melindungi hewan endemik Sumatera Utara, termasuk orangutan, demi memastikan kelestariannya bagi generasi mendatang.
Dengan langkah-langkah ini, INALUM bukan hanya hadir sebagai pelaku industri, tetapi juga mitra masyarakat dalam membangun ekonomi lokal yang berdaya saing dan berkelanjutan.
Penulis : Elly Marlina