inimedan.com-Kupang.

Kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah berusia 76 tahun, rupanya tidak dinikmati sepenuhnya oleh mereka beserta keturunannya, yang mempertahankan Sang saka Merah Putih di Bumi Timor Timur,namun realitasnya pilihan mereka tersebut jauh dari harapan, demikian yang dirasakan ratusan warga eks Timor Timur (Timtim, kini Timor Leste) yang masih menetap di kamp pengungsian Tuapukan di Kupang Tengah, Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
yang secara administratif berada di RT 18, RW 07, Dusun IV, Desa Oebelo. Terdapat 52 kepala keluarga (KK) lama dan 12 KK baru. Total ada 381 jiwa yang menetap di atas tanah seluas 3 hektare tersebut. Tiap KK menempati lahan seluas 20 meter x 25 meter.
“Mereka berjuang dengan berbagai pengorbanan nya untuk memilih dan menetap di wilayah Indonesia, sudah sepatutnya mereka menjadi warga negara Indonesia yang hak hak nya dilindungi oleh UUD1945, tapi nyatanya hak mereka diabaikan oleh Pemerintah Indonesia” kata Risno Pakurkepada inimedan.com melalui telepon selulernya, Selasa( 24/8/2021) di Kupang
Menurut Risno, mereka yang hingga bermukim di kamp pengungsian tersebut, mayoritas pejuang prointegrasi dan keturunannya sejak menempati rumah yang disediakan oleh pemerintah Indonesia sejak 2003 lalu, mereka belum punya hak atas tanah, nah status mereka pun saat ini tidak jelas, apakah mereka pengungsi atau tetap menjadi warga negara Indonesia, mereka yang memilih tetap sebagai warga negara Indonesia, seharusnya kedudukannya harus sama dengan warga Indonesia yang lain.
” Selain menjanjikan Program relokasi yang sampai saat ini belum terealisasi sehingga mereka (warga eks Timtim, Red) masih tinggal di barak pengungsian, sudah saatnya Pemerintah Indonesia memberikan status hukum atau pun administratif terhadap mereka sebagai warga negara Indonesia bukan sebagai pengungsi” ungkap Risno yang tengah melanjutkan studi S-2 di Universitas Trisakti, juga salah seorang yang sedang berjuang membantu mengadvokasi para penghuni kamp Tuapukan. Dia menulis artikel di sebuah media daring yang judulnya dibuka dengan kalimat Dear, El Presidente (Tuan Presiden yang Terhormat).
Adapun isi surat tersebut, mengisahkan kepedihan kehidupan para warga eks Tim-tim selama kurun waktu 22 tahun di barak barak di atas lahan yang sewaktu waktu dapat digusur oleh siapapun yang menghendaki lahan tersebut, selain status tanah yang tidak jelas, kehidupan mereka juga senantiasa dihantui oleh ketidakjelasan status hukum maupun administrasi kependudukan mereka, mereka masih dianggap sebagai pengungsi, hidup mereka bak ayam kehilangan induknya, satu sisi mereka adalah warga Timor timur yg sudah menjadi negara Timor Leste, sedangkan di sisi lain mereka sudah terlanjur tetap memilih sebagai warga negara Indonesia, namun realitasnya, mereka dibiarkan hidup merana oleh Negara Indonesia yang mereka cintai.
Tidak hanya sekedar menulis surat, Risno generasi milineal asal Kupang ini, yang juga alumnus Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, agar pesan kepedihan warga eks Tim-tim tersebut sebagai sebuah fakta tak terbantahkan,ia juga menvisualkannya dalam sebuah video seputar kondisi terkini kamp tersebut, berdurasi 12 menit.
Di video itu terekam kehidupan yang tak terurus yang sarat penderitaan penghuninya sebagian besar mencari nafkah dengan cara serabutan, hanya mengandalkan tenaga dengan upah sangat rendah, padahal dulu kakek maupun bapak mereka merupakan pejuang yang membela sang saka merah putih agar tetap berkibar di bumi Timor timur.
Adapun tanah yang ditempati eks Timtim di Oebelo, lanjut Risno, menurut sejarah nya menyebutkan bahwa awal nya tanah itu milik Nikanor Mooy Mbatu.
Namun Pada 2003 silam, tanah itu telah diberikan kepada panitia penyelenggara tanah, beranggotakan Dinas Kimpraswil (PU Bidang Cipta Karya) Provinsi NTT, yang kemudian ditempati warga eks Timtim, ada pun dana pembelian lahan tersebut yang dipakai untuk permukiman dan pembangunan resettlement atas Oebelo tersebut bersumber dari dana hibah pemerintah Jepang.
“Mereka yang tergabung dalam Aliansi Perjuangan Rakyat NTT (APR NTT) pada tahun 2015 lalu pernah melakukan rapat dengar pendapat dengan pemerintah dan wakil rakyat setempat,namun sampai sekarang nggak jelas realitasnya,” paparnya.
Risno juga mengisahkan bahwa sekarang kamp pengungsian seluas 3 hektare itu dihuni mayoritas warga eks Timtim generasi ketiga. Kebanyakan orang tua mereka yang kali pertama menempati lahan tersebut sudah meninggal, mereka ingin masalah ini (sertifikat tanah) cepat diselesaikan karena menyangkut masa depan anak dan cucu mereka.
”Mereka sudah menetapkan pilihan nya dengan berbagai resiko, tapi nyatanya ada sinyalemen cinta mereka bertepuk sebelah tangan, hak mereka terkesan terabaikan di negeri Pancasila ini, kami berharap Pemerintah Pusat, DPR RI, DPD RI, Komnas HAM serta lembaga bantuan hukum (LBH) dan teman-teman CSO (civil society organization, Red) dan seluruh komponen bangsa Indonesia, agar bisa membantu menyelesaikan persoalan mereka, jangan biarkan mereka seperti anak tiri di negeri Pancasila ini” pungkas Risno. *tri#.