
Inimedan.com-Jakarta | Guru Besar Universitas Airlangga Prof Henri Subiakto menilai polemik keaslian ijazah mantan Presiden Joko Widodo harus diselesaikan dari akar masalah dengan memastikan dokumen asli diperlihatkan terlebih dahulu kepada publik.
“Ijazah itu kan dipegang Pak Jokowi. Diperlihatkan juga enggak. Inilah problema dari persoalan ijazah,” ungkap Henri melalui kanal YouTube Forum Keadilan yang dikutip pada Rabu 19 November 2025.
Ia mengkritik penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik khususnya Pasal 32 beserta turunannya yang dianggap tidak tepat diterapkan pada kasus ini.
“Makanya sebenarnya menggunakan undang-undang ITE pasal 32 dan 35 itu sudah keliru. Jika menggunakan pasal 27 memang bisa, tapi juga tidak bisa untuk menahan karena hanya 2 tahun,” jelas Henri panjang lebar.
Menurutnya, hak kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi harus didahulukan ketimbang tuduhan pencemaran nama baik.
“Kebebasan berpendapat itu didahulukan dibandingkan dengan persoalan pencemaran nama baik. Itu Mahkamah Agung yang nulis,” tegasnya mengutip putusan lembaga peradilan tertinggi.
Henri menekankan bahwa menyampaikan analisis atau opini terhadap isu publik seperti keaslian dokumen pejabat negara tidak boleh langsung dipidanakan.
“Kebebasan berpendapat yang berbasis Undang-Undang Dasar 45 Pasal 28F, itu memang hak warga negara untuk menganalisis, untuk bicara, untuk berpendapat. Kalau itu menyangkut kepentingan umum maka kebebasan berpendapat itu diatur pakai ITE, tapi tidak berarti bahwa belum-belum langsung kena pidana,” paparnya.
Ia menyebut kritik masyarakat merupakan bentuk kontrol sosial yang sehat dan merujuk pendapat Prof Mahfud MD serta Prof Jimly Asshiddiqie yang menyatakan pokok perkara harus dibuktikan terlebih dahulu.
“Kalau benar-benar itu asli, kertasnya asli, baru kemudian orang-orang ini bisa kena karena dia ternyata sudah tahu keaslian ternyata masih ngeyel dan merusak namanya, yaitu bisa dikenakan pidana,” tutup Henri.
Polda Metro Jaya telah menetapkan delapan tersangka yang dibagi menjadi dua klaster dalam perkara dugaan penyebaran informasi palsu terkait ijazah tersebut.
Klaster pertama terdiri atas Eggi Sudjana, Kurnia Tri Rohyani, Damai Hari Lubis, Rustam Effendi, serta Muhammad Rizal Fadillah.
Klaster kedua mencakup Roy Suryo, Rismon Hasiholan Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma yang biasa dikenal sebagai Dokter Tifa.*di/rep#

