inimedan.com-Jakarta.

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi yang telah ditetapkan 31 Agustus 2021 menuai berbagai kecaman dan bahkan mengundang gelombang protes dari berbagai pihak, salah satu diantaranya adalah dari LSM Lembaga Kajian Peduli Jakarta di ketuai oleh H.Suharto Effendi, SE, menurutnya salah satu di antara beberapa klausul di dalam Permendikbudristek tersebut tercantum adanya frasa ‘tanpa persetujuan korban’ yang mengacu kepada definisi kekerasan seksual dalam pasal 5 pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, huruf l, dan huruf m.
“Dalam frasa itu terkandung makna persetujuan seksual, sedangkan ketentuan tersebut, tidak dikenal di dalam norma hukum di Indonesia”ungkap H.Suharto Effendi, SE, saat dihubungi oleh awak media, melalui telpon selularnya, Sabtu,13/11/2021 di Jakarta.
Ia juga menjelaskan bahwa secara materiil, ada masalah krusial pada Permendikbudristek no 30/2021 ini, yakni Pasal 1 ayat 1 yang merumuskan klausul tentang kekerasan seksual dengan basis “ketimpangan relasi kuasa” yang mengandung pandangan menyederhanakan masalah pada satu faktor saja, yang bahkan cenderung bertentangan dengan ajaran agama, serta tidak sesuai dengan sila I, maupun sila ke 2 Pancasila, pelanggaran sama juga terjadi pada Pasal 5 ayat (2) yang tadi telah disebutkan, justru kedua pasal tersebut mendegradasi substansi kekerasan seksual, dan dapat menimbulkan makna melegalkan terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan, serta menciptakan Standar benar atau salah dari sebuah aktivitas seksual yang tidak lagi berdasarkan pada nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, melainkan persetujuan dari para pihak, yang kemudian berimplikasi munculnya persepsi bahwa selama tidak ada pemaksaan, maka penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah.
“Padahal Konsensus yang kita sepakati sesuai norma agama dan Pancasila bahwa hubungan seksual baru boleh dilakukan dalam konteks lembaga pernikahan, Alih-alih mencegah kekerasan seksual, Permendikbudristek ini disinyalir justru membiarkan aktivitas seksual di lingkungan kampus yang bertentangan dengan nilai-nilai agama maupun Pancasila,”tegas H. Soeharto Effendi, SE.
Karena itulah, lanjut H. Soeharto Effendi SE, pihaknya mendesak agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam menyusun kebijakan dan regulasi sebaiknya lebih akomodatif terhadap publik, dan sebaiknya merumuskan kebijakan maupun peraturan mengacu pada nilai-nilai agama, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta tidak menimbulkan pertentangan sudut pandang, perbedaan persepsi dan juga perbedaan tafsir di masyarakat.
“Untuk itulah, guna menghentikan kegaduhan maupun polemik di masyarakat, maka kami mendesak agar Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 sebaiknya dicabut saja, karena tidak sesuai dengan Pancasila dan norma hukum yang berlaku di Indonesia ini.”pungkas H. Soeharto Effendi, SE(#Tri)